PEMBAHARUAN ASAS LEGALITAS KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA: MENUJU PEMBAHARUAN ATAU KEBIMBANGAN? Oleh EVITA FENI

  • Whatsapp

 

NAMA                        : EVITA FENI

 

PEMBAHARUAN
ASAS LEGALITAS KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA: MENUJU PEMBAHARUAN ATAU
KEBIMBANGAN?

            Penantian
panjang akan adanya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru kini
telah berakhir. DPR dan pemerintah telah mengesahkan KUHP baru melalui
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
akan mulai berlaku 3 tahun kemudian sejak saat pertama kali diundangkan.
Sebagaimana diketahui, proses pembuatan KUHP yang baru ini memakan waktu yang
tidak sebentar. Butuh puluhan tahun hingga RKUHP akhirnya rampung menjadi KUHP
yang baru. Terdapat sejumlah pertimbangan yang menjadi alasan diperlukannya
KUHP yang baru. Salah satunya karena KUHP lama dirasakan sudah tidak sesuai
dengan perkembangan zaman dan tidak sesuai dengan nilai kebangsaan Indonesia
mengingat KUHP yang lama adalah peraturan yang dibuat pada zaman kolonial
Belanda.

            Dalam
upaya pembaharuan, KUHP membahas berbagai pembaharuan dan tinjauan mengenai
asas-asas hukum yang ada. Salah satu dari pembahasan pasal- pasal yang
dirumuskan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah mengenai
asas legalitas. Ditambahkannya Pasal 2 ayat (1) dan (2) Pada Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana di buku satu mengenai aturan umum yang memuat suatu
gambaran yang lebih luas mengenai asas legalitas.

            Asas
legalitas dalam KUHP lama dikenal dengan legalitas formil dimana dalam
menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, KUHP
bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang atau
hukum tertulis. Dalam upaya pembaharuan yang memeperhatikan nilai-nilai luhur
bangsa, asas legalitas dalam Konsep KUHP baru diperluas yaitu dengan perumusan
asas legalitas materiil yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang
berbunyi: (1) Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup
dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
(2) Hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan
sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat
beradab.

            Pemberlakuan
hukum adat dalam KUHP juga diberi batasan-batasan terhadap keberlakukannya itu
seperti ; perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang undangan, dan selama
hukum yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

            Pembaharuan
asas legalitas yang mengakui hukum adat ini mendapatkan berbagai macam respon.
Beberapa pihak menunjukkan kekhawatirannya terhadap pembaharauan ini. Hal yang
dikhawatirkan akan terjadi adalah pemaksaan nilai-nilai hukum masyarakat lokal
kepada seluruh masyarakat (skala nasional) yang mungkin tidak mengetahui
keberadaan (atau tidak setuju) dengan nilai-nilai tersebut.

              Hal selanjutnya yang
dikhawatirkan adalah munculnya dualisme hukum sehingga berpotensi mengakibatkan
ketidakjelasan atau diskrimininasi dalam penerapannya. Salah satu tujuan hukum
adalah untuk menciptakan kepastian di tengah masyarakat. Dengan diakuinya
sumber hukum  tidak tertulis, akan sulit
untuk mencapai tujuan kepastian hukum. Dikhawatirkan objektivitas penegakan
hukum akan samar sebab hukum yang tidak tertulis kini diakui secara konkret di
dalam KUHP.

            Terlepas
dari kritik dan kekhawatiran yang muncul dengan pembaharuan konsep asas
legalitas dalam KUHP baru, langkah ini adalah sesuatu yang harus diapresiasi
sebab pembaharuan yang dilakukan menggunakan pendekatan nilai-nilai bangsa
sehingga hukum yang berlaku tidak hanya mengamini nilai-nilai nasional namum
juga nilai-nilai budaya bangsa yang relevan. Selain itu, yang tidak kalah
penting dalam merespon perubahan KUHP ini adalah bagaimana sikap kita dalam
mematuhi substansi-substansi yang ada di dalamnya. Sebab pembaharuan hukum
secara substantive atau melalui undang-undang (legal reform)  tidak akan
menghasilkan apa-apa kecuali hanya Undang-undang jika tidak diikuti dengan
pembaharuan sistem hukumnya (law reform)
yang dimulai dari masyarakat, sistem peradilan, penegak hukum dan hal-hal lain
yang lebih penting dari hanya sekedar pembaharuan Undang-undang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *